Penyebab Gagalnya Toilet Training Pada Balita

toilet training adalah salah satu proses yang penting untuk balita. jika ingin toilet training berhasil, maka harus memperhatikan beberapa hal agar tidak ada kegagalan dalam prosesnya
Penyebab Gagalnya Toilet Training Pada Balita- Setiap anak itu unik. Teori parenting yang bertebaran di luar sana kadang tak bisa dipakai untuk semua anak. Bahkan, anak yang dilahirkan dari rahim yang sama. Seperti halnya Agha dan Gia. Kakak adik yang memberi pelajaran berbeda kepada saya, Bundanya. Salah satunya perihal toilet training. 

Toilet training Agha 5 tahun lalu bisa dibilang berhasil. Sebagai orang tua, Saya dan suami tidak mengalami kesulitan yang berarti. Umur 1,5 tahun sudah mulai dikenalkan dengan training pant. Training pant itu celana dalam yang bisa menampung 2X pipis balita.   Agha kecil hanya memakai diaper saat bepergian jauh. Umur 2 tahun sudah tidak ngompol lagi. 

Berbeda dengan si adik Gia. Sekarang umurnya 3 tahun. Tapi toilet trainingnya masih belum beres. Bahkan, bisa dikatakan proses toilet trainingnya gagal. Karena di umurnya sekarang, Gia masih rajin pakai diaper siang dan malam. 

Setelah merenungkan, ternyata ada beberapa hal yang menyebabkan proses toilet training Gia tidak berhasil. Harapannya setelah menemukan penyebabnya, saya dan suami bisa belajar untuk memperbaiki kesalahan yang telah kami lakukan. 

Orang Tua Tidak Konsisten


Sebuah pengakuan yang jujur. Kami tidak menyangkal bahwa penyebab utama gagalnya toilet training  Gia adalah Kami sebagai orang tuanya. Kami tidak bisa kompak kali ini. Berbeda saat melakukan proses toilet training Mas Agha dulu. Ketika saya berniat memakaikan training pant kepada Gia, tiba-tiba suami mengganti dengan diaper saat Gia baru sekali pipis di celana. Padahal masih ada training pant lainnya yang bersih. 

Di lain waktu, saya sedang sibuk dengan beberapa pekerjaan yang harus saya kerjakan sekaligus. Secara otomatis saya akan menghabiskan banyak waktu di depan laptop. Fokus saya sedikit terganggu dengan rengekan Gia yang sudah terlanjur pipis di celana. Saya harus meranjak dari kursi untuk mengurus Gia dan mengepel lantai. Akhirnya saya memakaikan diaper kepada Gia. Niat untuk mengajari Gia toilet training kayaknya masih belum sempurna. Sehingga saya tidak konsisten dengan program yang sudah saya buat sendiri. 

Jika niat saya sudah sepenuh hati, harusnya tidak ada lagi kemalasan untuk mengajak Gia ke kamar mandi, sesibuk apapun. Tidak hanya itu, saya juga malas mencatat frekuensi pipis Gia. Meskipun seorang teman yang sudah berhasil menjalankan toilet training untuk anaknya memberi saran demikian. Saya paham jika Mencatat berapa jam sekali anak pipis akan membantu proses toilet training lebih cepat. Tapi entah kenapa saya enggan melakukannya.

Alhasil, program toilet training untuk Gia tidak berjalan lancar. Karena hanya mengandalkan mood saya sebagai seorang Bunda yang setiap hari menemani. Saya sering tidak konsisten dengan mengambil cara aman, yaitu memakaikan diaper kepada Gia saat tidak ingin riwuh dengan urusan ke kamar mandi. 


Terlalu “Lunak” Kepada Anak 


Penyebab kedua program toilet training untuk Gia gagal karena kami sebagai orang tua banyak memberikan toleransi kepadanya. Artinya saya dan suami terlalu “lunak” kepada Gia. Perkembangan Gia memang berbeda dengan kakaknya dulu. Bisa dikatakan perkembangan Gia lambat untuk anak seumurannya. Dulu, Agha sudah bisa berbicara dengan jelas di usia 2 tahun. Postur Agha juga bongsor meskipun lahir prematur sama seperti Gia. Namun tidak demikian dengan Gia. Postur Gia kecil dan imut. Usianya sudah 3 tahun tapi terlihat seperti anak 2 tahun. Bicaranya juga belum jelas.  Kami masih sering salah mengartikan kata yang diucapkan Gia. 

Kondisi Gia selalu membuat saya dan suami memberi banyak kelonggaran. Termasuk saat proses toilet training. Gia pipis di celana tidak masalah karena dia masih terlihat seperti anak 2 tahun. Gia masih memakai diaper siang dan malam karena posturnya  yang mungil masih pantas memakainya. Seperti itulah pemikiran kami saat itu.

Ketika tidur malam, Saya dan suami merasa kasihan jika harus membangunkan Gia untuk pipis ke kamar mandi. Sebenarnya Kami sadar rasa kasihan kepada Gia bukan pada tempatnya. Apa yang kami lakukan memang bukan tindakan yang mendidik. Tapi, entah kenapa kami tidak bisa menegakkan disiplin kepada Gia sama seperti yang kami lakukan kepada Agha dulu. Alasan lainnya mungkin karena Gia adalah anak perempuan. Hingga kami bersikap sangat “lunak” kepadanya.


Faktor dari Luar 


Faktor dari luar ini banyak macamnya. Bisa berasal dari lingkungan atau keluarga besar seperti kakek, nenek, om, tante, dan saudara jauh lainnya. Berdasarkan pengalaman, Linkungan baru dan Keluarga besar juga  menjadi penyebab gagalnya proses toilet training Gia. Ketika harus berkunjung ke rumah kakek nenek di luar kota, saya tidak bisa melanjutkan proses toilet training Gia selama menginap di sana. Kakek sangat sensitif dengan bau pipis balita. Beliau bisa mendadak pusing jika mencium aroma pipis di lantai. 

Selain itu, kondisi desa yang dingin membuat Gia lebih sering pipis. Bila biasanya Gia pipis satu jam sekali, tapi selama di rumah kakek nenek tidak bisa ditebak. Diaper Gia menjadi lebih cepat penuh. Posisi kamar mandi yang agak jauh juga menjadi pertimbangan. Pernah mencoba tetap menjalankan proses toilet training kepada Gia selama mudik, tapi selalu gagal. Saat Gia bilang ingin pipis, saya selalu segera menggendong Gia ke kamar mandi sambil setengah berlari. Namun, sebelum sampai di kamar mandi Gia sudah tidak tahan. Dia keburu pipis di celana. 

Jadi, sebaiknya tidak mengajak balita bepergian jauh sementara waktu jika sedang menjalankan program toilet training kepada si kecil. Bila si kecil sudah bisa mengontrol diri dan bisa bilang jika ingin pipis atau pup, orang tua bisa mengajak si kecil travelling tanpa memakai diaper. Balita yang sudah mulai belajar lepas dari diaper, kemudian tiba-tiba diajak bepergian jauh untuk beberapa hari dan kembali memakai diaper, maka setelah pulang ke rumah kita akan mengulang dari awal proses toilet trainingnya. Itu yang terjadi kepada Gia. Dia lupa pernah diajari kalau ingin pipis harus  ke kamar mandi dulu. 

Itulah penyebab gagalnya proses toilet training Gia beberapa bulan lalu. Tak ingin mengulangi kesalahan, sekarang kami memulai kembali proses toilet training untuk Gia. Tapi kali ini kami lebih serius, menata niat dan lebih kompak satu sama lain sebagai orang tua. Kami juga mensugesti diri jika Gia sudah 3 tahun meskipun badannya mungil sehingga harus segera diajari pipis dan pup di kamar mandi.










Komentar