Benarkah Sertifikasi Perkawinan Bisa Menekan Angka Perceraian?

credit by pixabay
Benarkah Sertifikasi Perkawinan Bisa Menekan Angka Perceraian?-Wacana tentang penerapan Sertifikasi Perkawinan sebagai syarat pernikahan yang sah pada tahun 2020 nampaknya mendapat beragam respon. Ada yang menanggapi secara  optimis, serius, pesimis, mencibir, dan santai dengan guyonan yang receh. 


Bapak Muhadjir Effendy sebagai Menko PMK memang mengatakan jika tujuan diterapkannya aturan tersebut untuk membekali calon suami istri terkait masalah ekonomi keluarga, kesehatan reproduksi, pengasuhan anak, hingga bisa menekan angka perceraian. 




Program tersebut sebenarnya hadir untuk mengatasi berbagai permasalahan pelik pernikahan yang selama ini banyak terjadi di Indonesia. Bukan sebuah program yang simsalabim tanpa riset terlebih dahulu. Kita patut mengapresiasi program pemerintah yang peduli dengan tingginya angka perceraian di negeri ini. Terlepas bagaimana penerapannya nanti di lapangan. 


Sebagai orang yang pernah mendapat sedikit pencerahan tentang Hukum Perkawinan di Indonesia saat kuliah dulu, rasanya tidak tahan untuk tidak ikut berkomentar terkait program Sertifikasi Perkawinan ini. Memang tidak dapat dipungkiri angka perceraian di Indonesia setiap tahun grafiknya semakin meningkat. 

Untuk wilayah di Indonesia, Jawa Timur menjadi wilayah dengan angka perceraian tertinggi. Gubernur Jawa Timur Ibu Khofifah dalam sebuah wawancara sempat mengungkapkan kegalauannya terkait angka perceraian yang cukup tinggi di Jawa Timur, terutama untuk Surabaya dan Madura. Bahkan, belum lama ini beliau harus berat hati menandatangani berkas perceraian beberapa abdi negara di lingkungannya bekerja. 


PENYEBAB TINGGINYA ANGKA PERCERAIAN 


Berdasarkan data yang masuk dari berbagai pengadilan di Indonesia, penyebab perceraian yang menempati urutan pertama adalah masalah ekonomi. Kemudian disusul oleh faktor ketidakcocokan. Faktor ketidakcocokan ini masih dipecah menjadi beberapa kategori. Dan penyebab perceraian nomor tiga adalah hadirnya orang ketiga. Ketiga faktor tersebut menyumbang angka perceraian yang lumayan tinggi setiap tahunnya. 




Menurut pengamatanku, masih ada lagi faktor yang menyebabkan angka perceraian di Indonesia cukup tinggi. Yaitu dipermudahnya proses perceraian. Ketika magang di salah satu Pengadilan Agama di Jawa Timur, aku baru menyadari jika untuk mendapatkan selembar akta cerai itu sangat mudah. Bahkan, dari beberapa jenis sidang yang pernah aku ikuti, sidang perceraian adalah sidang paling singkat. 

Satu kasus perceraian hanya membutuhkan waktu kurang lebih antara 15-20 menit sekali sidang. Antrian untuk sidang cerai di Pengadilan Agama cukup panjang. Sehingga jika syarat-syarat tidak terpenuhi dalam satu kasus perceraian, maka sidang untuk kasus tersebut ditunda dua minggu mendatang. Kemudian Hakim akan memanggil antrian berikutnya untuk memasuki ruang sidang. 

Syarat-syarat yang dimaksud seperti saksi dan  pihak tergugat. Awalnya aku dan beberapa teman melongo  menyaksikan jalannya sidang. Kami sengaja diperbolehkan memasuki ruang sidang karena untuk kepentingan tugas kampus. Kami terkejut melihat proses sidang cerai yang sangat cepat. Bahkan, untuk proses mediasi, beberapa kasus hanya sebatas hitam di atas putih. Tentu saja alasannya karena untuk mempercepat proses perceraian. 

Seorang dosen senior dulu pernah mengatakan bahwa berkas di pengadilan agama itu beda dengan pengadilan umum. Di pengadilan agama itu tidak butuh pengacara karena berkas bisa “jalan sendiri” karena prosedurnya yang sangat mudah. Ternyata benar adanya. 

Tentang prosedur perceraian yang sangat mudah ini pernah aku tanyakan kepada Hakim senior di Jawa Timur. Jawaban beliau sungguh diluar dugaanku. Beliau mengatakan jika Hakim tidak boleh mempersulit dua orang yang sudah tidak punya keinginan melanjutkan kehidupan pernikahan.

Bahkan, tanpa kehadiran tergugat pun, seseorang bisa bercerai melalui keputusan Verstek. Yaitu kewenangan Hakim untuk memeriksa dan memutus suatu perkara meskipun tergugat dalam perkara tersebut tidak hadir di persidangan pada tanggal yang sudah ditentukan. 

Beberapa saudara di kampung halamanku pernah bercerai dengan keputusan Verstek ini. Dalam istilah lain, mereka menyebut “cari surat cerai sendiri “ yang artinya tergugat tidak datang ketika ada panggilan dari Pengadilan Agama. 

Padahal, tidak semua orang yang ke Pengadilan Agama sudah membulatkan tekad untuk bercerai. Ada yang pergi karena keputusaan emosional sesaat. Harusnya pasangan yang seperti ini bisa didamaiakan lewat proses mediasi yang benar tanpa harus bercerai. Karena alasan yang dikemukan dalam persidangan biasanya masih kurang kuat untuk menjadi sebuah alasan perceraian. 


SERTIFIKASI PERKAWINAN SEBAGAI SOLUSI MENEKAN ANGKA PERCERAIAN? 




Menikah adalah proses belajar sepanjang waktu. Memasuki dunia pernikahan ibarat memasuki hutan belantara. Kita tidak tahu situasi seperti apa yang ada di depan kita nantinya. Harus punya cukup bekal dan ilmu dasar yang akan mempermudah penempuh perjalanan panjang yang penuh kejutan. 


Jika calon suami istri wajib menggali ilmu tentang pernikahan, aku setuju. Sudah banyak orang yang melakukan hal itu. Meskipun sifatnya masih suka rela atas kesadaran diri sendiri. Beberapa Lembaga keislaman juga sudah menjalankan pelatihan-pelatihan pranikah namun yang mengikuti masih dari kalangan terbatas. 


Jika program tersebut dikawal dengan baik pelaksanaannya di lapangan, maka kemungkinan besar bisa memberi pencerahan kepada calon suami istri. Materi seputar keseimbangan antara hak dan kewajiban suami istri,  kesehatan reproduksi, parenting, dan perencanaan keuangan keluarga bisa membuat calon suami istri lebih siap memasuki dunia pernikahan. 


Semakin banyak ilmu yang dipahami sebelum menikah, maka potensi membangun keluarga yang harmonis semakin besar. Hal ini tentu saja secara teori bisa menekan angka perceraian. Masing-masing telah memiliki kematangan emosional sebelumnya. Sehingga bisa meminimalisir “gesekan” dalam rumah tangga. Diharapkan suami istri bisa lebih “slow” menghadapi segala problema dalam rumah tangga dan tidak mudah menempuh jalan perceraian. 



Namun, melihat karakteristik masyarakat Indonesia, secara pribadi aku memiliki kekhawatiran bahwa program seperti ini hanya berjalan di atas kertas. Bakal banyak oknum yang menawarkan jasa pengurusan sertifikasi perkawinan. Sama halnya dengan pembuatan dokumen resmi lainnya seperti Akte, KTP, dan SIM. 



Sertifikasi Perkawinan memang dikantongi, tapi ilmu-ilmu yang mendukung untuk menjalani sebuah rumah tangga tidak didapat, Sehingga adanya sertifikasi perkawinan tidak berdampak pada berkurangnya angka perceraian. Karena minat masyarakat untuk mengupgrade diri rendah. 

Pola pikir yang terbentuk selama ini adalah "pernikahan adalah sesuatu yang alami, siapapun bisa beradaptasi dengan sendirinya menjadi seorang suami atau istri." Aku bukan pesimis, tapi hanya mengamati pola yang sudah ada di masyarakat selama ini. 

Alih-alih mewajibkan mengantongi sertifikasi perkawinan sebelum menikah, harusnya memperbanyak program yang berkaitan dengan parenting dasar, keuangan keluarga, dan pentingnya menjaga reproduksi. Program-program tersebut bisa disisipkan mulai dari kurikulum sekolah sampai lingkungan kerja.

Pemerintah juga bisa menggandeng berbagai komunitas untuk melaksanakan program tersebut. Sehingga setiap individu yang belum menikah bisa mendapat ilmu-ilmu terkait kesiapan pernikahan di mana saja tidak terikat tempat dan waktu.  Mereka bisa memperoleh pengetahuan tersebut jauh-jauh hari. Tidak harus 3 bulan menjelang pernikahan. 

Justru hal-hal seperti ini yang nantinya bisa menekan angka perceraian. Setiap individu punya kesadaran untuk mengupgrade ilmu yang berkaitan dengan kapasitas sebagai calon suami atau istri tanpa merasa terintimidasi. Saat seseorang mempelajari sesuatu secara suka rela, maka apa yang dipelajari mampu tertanam di pikiran dan hatinya.   


Tentu saja ini adalah pendapatku secara pribadi. Siapapun boleh tidak setuju. Karena menikah adalah sesuatu yang privat, hak setiap orang dan mempersiapkan diri menuju gerbang pernikahan tidak harus dengan pelatihan yang terkesan kaku yang belum tentu disukai oleh semua orang.



Komentar